Pencerahan Hati di Subuh Kelam
Mataku masih agak mengantuk akibat telat tidur tadi malam. Dengan menu yang sederhana, kami sekeluarga menikmati makanan ala kadarnya dengan tenang. Hanya sepatah dua patah yang keluar dari mulutku. Kantuk yang luar biasa membuatku banyak terdiam. Aku hanya terus menikmati makanan yang sudah disiapkan. Tak lama kemudian, terdengar suara sirine dari masjid. Pertanda bahwa waktu sahur telah berakhir dan kami harus berpuasa. Aku, ibu dan ayah pun bergegas menuju masjid. Keluargaku terbiasa untuk shalat subuh di masjid. Tapi subuh ini ada yang berbeda, hatiku terasa beku. Aku terenyuh..
Entah mengapa, selama bulan puasa, baru kali ini aku serius mendengarkan ceramah subuh. Biasanya aku selalu saja mengantuk dan sama sekali tidak dapat menarik kesimpulan dari apa yang disampaikan penceramah. Performance penceramahnya biasa-biasa saja. Tapi aku tertegun dengan tema yang beliau sampaikan. Beliau menyampaikan tentang tanda-tanda orang yang bertaqwa dan menjelaskan bahwa hari ke-10 puasa adalah masuk ke dalam fase maghfirah (pengampunan).
Memaafkan sesama dan kesabaran. Inilah yang membuatku hampir meneteskan air mata. Aku kembali mengingat tentang masa lalu yang kelam, yang penuh kesia-sian. Meninggalkan rasa benci di hati dan aku sama sekali belum bisa mengontrol emosi. Aku berpikir, untuk hari-hari biasa saja aku belum mampu sabar, apa mungkin di bulan yang penuh berkah ini aku juga kembali tidak bisa mengontrol emosi? rasanya begitu sia-sia aku melalui puasa ini jika tak ada sifat buruk yang mampu aku hilangkan dan digantikan dengan sifat yang terpuji, Sabar dan sifat memaafkan. Membesihkan hati.
Puasa tinggal hampir tinggal 2 minggu lagi. Rasanya aku sama sekali tidak ingin melewatinya terlalu cepat. Terlalu banyak sifat tercela yang belum bisa aku hilangkan. Aku sedih karena ternyata sampai sekarang aku belum mampu menikmati bulan Ramadhan dengan ibadah seutuhnya. Mungkin dulu aku masih bisa menjalani bulan Ramadhan dengan seseorang yang aku sayang, bahkan yang aku cinta. Tapi rasanya Allah tidak merestui. Akhirnya bulan ini meninggalkan bekas luka, kesedihan, dan penyesalan. Aku sangat sadar akan hal ini. Hatiku akan terus-terusan menorehkan luka jika aku juga terus tenggelam dengan perasaan ini. Ceramah Ustadz tadi subuh menyadarkanku bahwa semua kejadian itu pasti ada hikmahnya. Semua itu tergantung hambaNya yang selalu tawakkal. Kata Pak Ustadz, “Kita harus bisa saling memaafkan. Maafkan lah orang-orang yang pernah menyakitimu. Hatimu adalah sumber dari kehidupan. Hatimu akan tenang, fisikmu akan sehat jika kita mampu membersihkan hati dengan cara memaafkan”. Ya Allah, begitu tenang dan mulianya jika ada orang yang mampu memaafkan orang lain dengan hati lapang. Aku berpikir, ternyata aku salah membawa perasaan hati ini. Aku terlalu larut sehingga aku tidak ‘enjoy’ dan memandang skeptis segala hal. Allah saja punya kriteria khusus mana hambaNya yang bertaqwa, mana yang tidak bertaqwa. Memangnya siapa yang tidak ingin menjadi hamba yang bertaqwa? Terkadang kita selalu saja menuntut agar orang lain bisa menyayangi kita. Tapi kita tidak pernah mau berpikir apakah Allah sudah menyayangi kita. Aku butuh sayang Allah.
Untuk dia yang disana, mungkin tak ada kata maaf darinya. Tapi aku memaafkannya. Aku juga tidak mau dihantui rasa bersalah akibat meninggalkan rasa benci. Allah sayang pada umatNya. Pantaskah kita untuk tidak saling menyayangi?
Bulan puasa ini memang banyak cobaanya. Terkadang kita tidak sadar bahwa ini adalah cobaan kesabaran. Allah melihat mana hambaNya yang sabar mana yang tidak. Oleh karena itu aku mencoba optimis dan yakin bahwa dibalik setiap peristiwa yang telah aku lewati itu pasti ada hikmahnya. Sungguh setiap cobaan yang diberikan oleh Allah itu seharusnya dapat menjadi jalan agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik.